Jumat, 04 Maret 2011

Musim durian dan Ayahku


Saat ini di Makassar musim durian telah menyapa, meski harga masih relatif mahal tapi disepanjang jalan baik jalan-jalan protokol ataupun jalan-jalan biasa telah dipenuhi oleh para warga yang sedang asyik menikmati durian, sebagian warga bahkan berubah profesi menjadi penjual durian, warung-warung makan kini banyak disulap menjadi tenda-tenda sederhana yang dipenuhi tumpukan buah berduri nan manis, waktu pun tak jadi masalah, dari pagi-pagi sekali hingga malam telah larut para penjual dan pembeli selalu saja terlihat di sepanjang jalan, yah…..musim durian memang selalu jadi momen yang istimewa bagi sebagian besar warga masyarakat kota Makassar, termasuk aku dan keluargaku khususnya almarhum ayahku.


Musim durian selalu mengingatkanku pada ayahku. Ayahku penggemar durian, sejak dulu, itulah mengapa seluruh anaknya sangat menyukai durian, mungkin karena dari kecil hingga dewasa ayah selalu membiasakan kami menikmati nikmatnya rasa buah durian. Aku masih ingat seringkali setiap sore setelah pulang kantor ayah membawakan kami buah durian, kalau dia sudah sampai di depan pintu, wajahnya berseri-seri dan dengan semangat dia akan berteriak memanggil kami anak-anaknya..”nanna…anci…mala…wati…turun nak, bantu tetta angkat barang dari mobil, kami pun turun lalu terlihat ayah berdiri di samping pintu belakang mobil, saat melihat isi mobil, mata kami pun terbelalak gembira, karena bagian belakang mobil sudah penuh dengan buah durian, kami pun bersorak, dan ayah tertawa terbahak-bahak melihat kegembiraan kami, dengan semangat kami mengangkatnya dan mulai memakannya dengan penuh semangat. Saat menikmati durian itu, tatapan ayah tak pernah lepas dari wajah kami, tersenyum penuh kasih sayang. Kadang-kadang meski rasa durian itu agak hambar atau pahit, aku tetap pura-pura semangat memakannya, aku hanya tak ingin membuat tatapan bahagia itu menjadi kecewa karena durian yang tak enak.


Hal itu selalu saja ayah lakukan, bahkan pada saat dia mulai sakit-sakitan, kolestrol tinggi, gula dan kaki yang rematik dan mulai terseok-seok, Ia tetap pergi membelikan kami durian, selalu dengan jumlah yang tak sedikit, Ia memang tak ikut menemani kami makan seperti sebelumnya, dia akan makan satu atau dua biji setelah itu berhenti, karena mata kakakku yang perawat tak berhenti melotot padanya, takut ayah tambah parah penyakitnya. Suatu ketika penyakit ayah mulai parah, berganti-ganti rumah sakit dan di vonis menderita tumor di paru-parunya, musim durian mulai terlewati dengan begitu saja, tak ada lagi ayah yang setiap pulang kerja memanggil kami makan durian, Ia hanya terbaring tak berdaya dan mulai tak bisa berjalan lagi, saat itu kondisinya agak membaik, dan dia ingin sekali makan durian, kami juga bingung harus bagaimana, dokter tentu tak membolehkannya pihak rumah sakit juga keberatan karena bau durian sangat menyengat. Seorang kakakku (kak anci) lalu berinsiatif, membelikannya durian dengan cara isi duriannya dikeluarkan dan dibungkus dalam kantong plastik lalu dibawa ke rumah sakit, ayahku terlihat begitu senang seperti anak kecil yang dapat mainan baru, dia pun memakannya dengan nikmat, meski tak banyak (karena kami batasi juga), itulah saat terakhir kami menikmati makan durian bersama-sama, karena beberapa bulan setelahnya ayah meninggalkan kami.


Ah ayah…saat ini musim durian, kami semua sudah punya uang untuk membelinya tak perlu dibelikan lagi olehmu..tapi tetap saja tak sama, karena tak ada lagi tatapan wajahmu yang penuh kasih sayang melihat kami menyantap buah durian. Terima kasih ayah atas cinta yang berlebih, meski kadang kau sampaikan lewat manisnya buah durian….merindukanmu, sangat!

0 komentar:

Posting Komentar