Rabu, 30 Juni 2010

"My Name Is Malahayati"


Saat membaca judul dari catatan saya ini, mungkin anda teringat dengan sebuah judul film bollywood yg cukup terkenal beberapa waktu yang lalu. Catatan ini sama sekali ga ada hubungannya dengan film tersebut, krn tanpa menyambungnya dengan kalimat “I’m not a terorist”, saya memang bukan teroris (emang siapa yg nanya…hahaha) dan catatan ini memang bukan membahas masalah tersebut. Catatan ini hanya sekedar keisengan saya saja, yg mungkin lagi BeTe dengan suasana,ga mood menulis proposal tesis (ga ada ide tepatnya…!) atau mgk karena ga ada kerjaan….tapi alasan nulisnya sebenarnya ga penting, tapi apa yg saya tulis itu yang mgk jadi fokusnya. Mau nulis puisi, saya bukan sastrawan handal, mau nulis yang sifatnya ilmiah, proposal saya aja ga beres-beres, saya lalu teringat kejadia-kejadian beberapa waktu yang lalu, saat seorang ibu Professor menegur saya dengan tersenyum sambil berkata:”Malahayati yah?nama rumah sakit kan?”…saya hanya tersenyum sambil berpikir,apa ada Rumah sakit yang namanya persis namaku…perasaan ga pernah bangun (hahahaha, ya iyalah!), lalu esok harinya seorang kawanku berkata” K’ Mala, ada lagunya Iwan Fals yg judulnya “Malahayati” (tepatnya perempuan keumala)” aku hanya berkata: “masa sih? Sambil mulai keGRan…hihihi. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya nama itu disebut-sebut dengan pujian, bukan hanya rumah sakit,universitas, pelabuhan dan bahkan salah satu nama kamar di asrama pondokku jg bernama Malahayati. Hingga detik sebelum memutuskan untuk mencoba menulis atau menceritakan ulang mgk, saya pribadi jujur saja tak banyak tau tentang sosok dibalik nama itu. Karena itulah, mengapa akhirnya saya menulis catatan ini, sekedar menambah referensi saya bila ditanya kenapa nama itu dipilihkan untuk saya dan untuk seluruh Malahayati dimanapun berada.

Sejujurnya saya sempat tidak suka dengan nama ini, tapi itu dulu sewaktu saya masih dibangku sekolah, karena belum tau siapa sebenarnya pemilik nama pertama dari “Malahayati”, bukan karena bentuk namanya, tapi arti dari nama itu seringkali saya temukan tidak begitu bagus. Saya ingat Ayah (alm) saya selalu bercerita sejarah pemberian nama saya, saat itu Beliau sedang mengikuti MTQ di Aceh, pada saat saya lahir beliau ditelpon kalau yg lahir seorang perempuan, saat itu pula beliau memberi tau ibu saya agar dinamakan “Malahayati” knp?karena saat itu beliau sedang melihat sebuah patung yg bertuliskan “Pahlawan Malahayati” mgk sembari berharap saya akan jadi seperti sosok dipatung itu, entah karena cerita kepahlawanannya yg bagus atau patungnya entahlah…(ayah, maaf bercanda…hehe!). Dulu ketika SD bila teman2ku tanya, namanya artinya apa, saya cm bilang nama pahlawan aceh, lalu mrk heran dan bertanya yg mana? Entahlah, sy jg tak pernah melihatnya. Beranjak SMP saya mencoba mencari nama saya di Kamus Bhs Indonesia, dan itulah yg membuat saya tak suka nama itu, karena kata “Mala” berarti bencana, celaka, sengsara, merana, penyakit, pokoknya ga ada yg bagus. Saat SMA dan kuliah kadang2 teman2 saya memanggil saya dengan ledekan Malapetaka, Malaria, malapraktik dan Mala2 lainnya…ah ga sopan, tp mau gmn lg kata Mala memang identik dgn itu belum lagi dlm pelajaran bhs Arab seringkali teman2ku menerjemahkannya dengan arti” Ma-La-Hayatun:tak ada kehidupan”, lengkap sudahlah…hehehe!

Namun semua itu menjadi tak ada artinya ketika mulai mencari cerita kepahlawanan nama tersebut, sosok yang luar biasa, dan tak ada duanya. Nama lengkapnya Keumalahayati berasal dari kata keumala yang berarti sebuah batu yang indah dan bercahaya, banyak kasiatnya dan mengandung kesaktian. Keumalahayati berasal dari kalangan bangsawan Aceh. Ayah Keumalahayati bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. Kendatipun dirinya hanya seorang wanita, ia juga ingin menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya. Sepanjang catatan sejarah, tahun kelahiran dan tahun kematian Keumalahayati belum diketahui dengan pasti. Hanya dapat ditafsirkan bahwa masa hidup Keumalahayati sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI. Keumalahayati berniat mengikuti karir ayahnya yang pada waktu itu telah menjadi Laksamana. Sebagai seorang anak yang mewarisi darah bahari, Keumalahayati bercita-cita ingin menjadi pelaut yang tangguh. Untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pelaut, ia kemudian ikut mendaftarkan diri dalam penerimaan calon taruna di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis. Berkat kecerdasan dan ketangkasannya, ia diterima sebagai siswa taruna akademi militer tersebut. Pada suatu saat di Kampus Akademi Militer Mahad Baihil makdis tersebut, Keumalahayati berkenalan dengan seorang calon perwira laut yang lebih senior dari dirinya. Perkenalan berlanjut hingga membuahkan benih-benih kasih sayang antara pria dan wanita. Keduanya akhirnya sepakat menjalin cinta asmara, dua tubuh satu jiwa, menyatu dalam cinta, mengarungi bahtera kehidupan yang bergelombang ini bersama-sama untuk menuju pantai bahagia, menikmati indahnya cinta. Setelah tamat pendidikan di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, keduanya akhimya menikah sebagai suami-istri yang bahagia. Sejarah akhirnya mencatat, bahwa pasangan suami-istri alumni dari Akademi Militer ini menjadi Perwira Tinggi Angkatan Laut Aceh yang gagah berani dalam setiap pertempuran laut melawan armada Portugis.

Sebagai seorang perwira muda lulusan Akademi Militer Baitul Makdis di Aceh dan memiliki prestasi pendidikan yang sangat memuaskan, Keumalahayati memperoleh kehormatan dan kepercayaan dari Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil (1589- 1604), diangkat menjadi Komandan Protokol lstana Darud-Dunia dari Kerajaan Aceh Darussalam. Jabatan sebagai Komandan Protokol lstana bagi Keumalahayati adalah merupakan jabatan yang tinggi dan terhormat. Jabatan tersebut sangat besar tanggung jawabnya, karena di samping menjadi kepercayaan Sultan, juga harus menguasai soal etika dan keprotokolan sebagai mana lazimnya yang berlaku di setiap istana kerajaan di manapun di dunia. Pada saat suaminya gugur dalam peperangan melawan Portugis, Keumalahayati lalu mengajukan perrnohonan kepada Sultan Al Mukammil untuk membentuk armada Aceh yang prajurit-prajuritnya semua wanita-wanita janda, yang suami mereka gugur dalam pertempuran Teluk Haru. sekitar Teluk Krueng Raya itulah Laksamana Keumalahayati membangun benteng Inong Balee yang letaknya di perbukitan yang tingginya sekitar 100 meter dari permukaan laut. Tembok yang menghadap laut lebarnya 3 meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke pintu Teluk. Benteng yang dalam istilah Aceh disebut Kuta Inong Balee (Benteng Wanita Janda) tersebut, hingga sekarang masih dapat kita saksikan di Teluk Krueng Raya, dekat Pelabuhan Malahayati. Keumalahayati adalah seorang wanita Aceh pertama yang berpangkat Laksamana (Admiral) Kerajaan Aceh dan rnerupakan salah seorang pemimpin armada laut pada masa Pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah Al Mukammil (1589-1604) yang populer disebut dengan Sultan Al Mukammil saja.

Keumalahayati bukan hanya sebagai seorang Laksamana dan Panglima Armada, Angkatan Laut Kerajaan Aceh, tetapi la juga pemah menjadi Komandan pasukan Wanita Pengawal Istana. lebih dari itu ia juga seorang diplomat dan juru runding yang handal. Hal ini telah dibuktikan dengan berbagai pengalaman dalam praktek menghadapi counter part-nya dari Belanda maupun lnggris. Sebagai seorang militer, Keumalahayati tegas dan disiplin tinggi, tetapi dalam menghadapi perundingan, la bersikap luwes tanpa mengorbankan prinsip. Bersama Darmawangsa, Keumalahayati menghadapi serangan Portugis. Pertempuran sengit di perairan Aceh pun terjadi. Berkat kecakapan dan kegigihan Laksamana Keumalahayati dan Darmawangsa, akhirnya pasukan Portugis berhasil dihancurkan. elanjutnya mengenai kematian Laksamana Keumalahayati belum dapat diketahui karena memang belum ada data atau petunjuk yang menerangkan kematiannya. Walaupun kelahiran dan kematiannya masih menjadi misteri, namun sepak terjang dan kepahlawanannya pantas dicatat dalam lembaran sejarah Aceh dengan tinta emas.
Itulah sekelumit cerita tentang sosok “Malahayati”, tak lengkap memang karena bila diceritakan semua, bakalan panjang catatannnya, kawan2 bisa melihatnya lbh lengkap di www.acehpedia.com

Akhirnya kalimat yang menyatakan “apalah arti sebuah nama” bagiku serasa tak sesuai karena dengan nama itu aku merasa berarti, sangat jelas bahwa “Malahayati” sang pahlawan sangat jauh berbeda dengan “Malahayati” sang penulis catatan iseng ini, hehehe, tapi paling tidak semangat kepahlawanannya bisa menjadi inspirasi, motivasi atau referensi apa sajalah yang bisa menjadikanku orang yang lebih baik dan berarti, aku tak tau seperti apa orang mengenaliku atau menilaiku, karena rasanya hampir tak ada hal membanggakan yg bisa aku ceritakan dari diriku, tapi aku ingin tetap semangat menjalani hidupku, dan menjadi diriku sendiri…

“ Terima Kasih Ayah, Bunda telah memberiku nama yang Indah dan membanggakan itu” karena itu dengan sedikit narsis saya ingin berkata “My Name Is Malahayati”

Seperti syair lagu Iwan Fals…

Dia Perempuan Keumala
Alam semesta restui
Lahir jaya berjiwa baja
Laksamana Malahayati
Perempuan ksatria negeri

Selasa, 29 Juni 2010

Mengapa harus “Kartini”


Pada hari ini setiap tanggal 21 April diperingati sebagai hari kartini, seorang pahlawan wanita sebagai simbol dari perjuangan emansipasi wanita, sosok ini begitu lekat,dekat dan tanpa sekat menyatu dalam setiap pribadi wanita yang mempunyai jiwa berjuang dalam kehidupannya, tak jarang pula sosok ini dijadikan inspirasi dan teladan dalam makna yang tak seharusnya oleh kaum wanita yang ingin mensakralkan kebebasannya yang kebablasan. Oleh karena itu penting untuk mengetahui sepak terjang seorang kartini dan sejauh mana perjuangannya sehingga mengapa beliau sangat layak dijadikan sebagai seorang inspirator dalam semangat kepribadian seorang wanita pada khususnya dan seluruh pribadi manusia pada umumnya

Siapa kartini?

Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, bupati Jepara. Beliau putri R.M. Sosroningrat dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Mengapa harus Kartini?

• Kartini dan Kecintaannya pada Orang Tua
Kecintaan Kartini pada ayahnya memang luar biasa. Bahkan demi cintanya itu, Kartini rela menanggungkan apa saja,"Untuknyalah, aku merasa begini celaka, berbulan-bulan lamanya aku menjadi goyah hati, lemah, yang bahkan pengecut, karena aku tidak mampu, tidak sampai hati untuk melukai hatinya..."Ada aku rasai cintaku yang tiada terbatas kepadanya, dan aku menjadi bangga, menjadi berbahagia karenanya” itulah ungkapan kartini pada ayahnya. Tampaknya, di depan sang ayah, Kartini tak memiliki kekuatan untuk melawan, yang selalu dia katakan "demi cintaku pada ayah". Sehingga saat niatnya ke Belanda ditentang sang ayah, dan dia dikawinkan dengan Bupati Rembang, "menjadi istri yang kesekian" dia juga tak kuasa melawan. Kartini tak tahu, ada permainan Belanda dalam perkawinan itu. Setamat sekolah, Kartini ingin meneruskan ke Semarang, di HBS. Apalagi, abang-abangnya sudah bersekolah di sana. Tapi ayah Kartini tak memberi izin. Tahun 1896, saat Kartini berusia 17 tahun, pingitannya dilepas. Dia bersama adiknya, Kardinah, menikmati sekali kebebasan itu. Dan sejak 1900, saat naiknya Ratu Wihelmina, tradisi pingit tak ada lagi. Sesudah itu Kartini memang menjadi pemberontak. Bahkan, ketika dia akan membaktikan dirinya bagi perjuangan yang progresif, dan sang ayah menentang, Kartini tak mundur. Sampai ayahnya jatuh sakit, barulah Kartini surut, bukan mundur, tapi menunda niatnya. Kartini mengajarkan pada kita bahwa sebesar apapun keinginan kita sekalipun bermakna positif, sebagai seorang anak kita seharusnya tetap menghormati orang tua.

• Kartini dan Ilmu Pengetahuan
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda. Kartini membuktikan kepada kita bahwa meski berada dalam situasi yang termarjinalkan dan dalam status perkawinan, sisi intelektualitas harus tetap dipertahankan.

• Kartini dan Alquran
“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?“. Pertanyaan ini diajukan Kartini kepada Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar, atau lebih dikenal dengan Kyai Sholeh Darat, ketika berkunjung ke rumah pamannya Pangeran Ario Hadiningrat, Bupati Demak. Waktu itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga dan Kartini ikut mendengarkan bersama para raden ayu lainnya dari balik tabir. Karena tertarik pada materi pengajian tentang tafsir Al-Fatihah, setelah selesai Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kyai tersebut. Tertegun mendengar pertanyaan Kartini, Kyai balik bertanya, “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?“ “Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama (Al-Fatihah), dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?“
Ibu Kartini muda yang di kala itu belajar Islam dari seorang guru mengaji, memang telah lama merasa tidak puas dengan cara mengajar guru itu karena bersifat dogmatis dan indoktrinatif. Walaupun kakeknya Kyai Haji Madirono dan neneknya Nyai Haji Aminah dari garis ibunya, M. A. Ngasirah adalah pasangan guru agama, Kartini merasa belum bisa mencintai agamanya. Betapa tidak? Beliau hanya diajar bagaimana membaca dan menghapal Al-Qurâ’an dan cara melakukan shalat, tapi tidak diajarkan terjemahan, apalagi tafsirnya. Pada waktu itu penjajah Belanda memang memperbolehkan orang mempelajari Al-Qurâ’an asal jangan diterjemahkan. Tergugah dengan kritik itu, Kyai Sholeh Darat kemudian menterjemahkan Al-Qurâ’an dalam bahasa Jawa dan menuliskannya dalam sebuah buku berjudul Faidhir Rahman Fit Tafsiril Quran jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah hingga surat Ibrahim. Buku itu dihadiahkan kepada Ibu Kartini saat beliau menikah dengan R. M Joyodiningrat, Bupati Rembang pada tanggal 12 November 1903. Berkat insiatif dan kegigihan seorang Kartini, akhirnya dibuatlah tafsir Alquran yang memudahkan masyarakat dalam mendalami ilmu Islam.,

• Kartini dan Emansipasi
Kartini mendapat pencerahan tentang perlunya mendobrak adat-adat lokal, baik perilaku yang mengistimewakan keturunan ningrat daripada keturunan rakyat biasa maupun yang mengekang hak-hak wanita pada umumnya. Menurut beliau, setiap manusia adalah sederajat dan mereka berhak mendapat perlakuan yang sama. Sedangkan khusus untuk wanita, mereka memiliki hak misalnya untuk memperoleh pendidikan sekolah, hak untuk melakukan aktivitas keluar rumah, hak untuk memilih calon suami. Namun di lain pihak Ibu Kartini juga berusaha untuk menghindar dari pengaruh budaya Barat walaupun juga mengakui bahwa perlu belajar dari Barat karena lebih maju dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Beliau juga mendapat pencerahan tentang agama yang dianutnya, yaitu Islam. Bahwa Islam, jika ajaran-ajarannya diikuti dengan benar sesuai dengan Alquran, ternyata membawa kehidupan yang lebih baik dan memiliki citra baik di mata umat agama lain. Ibu Kartini menulis dalam surat-suratnya, bahwa beliau mengajak segenap perempuan bumiputra untuk kembali ke jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat lain memandang agama Islam sebagai agama yang patut dihormati. “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].
Klimaksnya, nur hidayah itu membuatnya bisa merumuskan arti pentingnya pendidikan untuk wanita, bukan untuk menyaingi kaum laki-laki seperti yang diyakini oleh kebanyakan pejuang feminisme dan emansipasi, namun untuk lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai ibu. Ibu Kartini menulis: “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902]. Tidak hanya itu, nur hidayah itu juga bisa menyebabkan perubahan sikap beliau terhadap Barat yang tadinya dianggap sebagai masyarakat yang paling baik dan dapat dijadikan contoh. Ibu Kartini menulis, “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902].

Meskipun pro dan kontra mewarnai dalam penetapan sosok Kartini sebagai pahlawan dan menganggap bahwa masih banyak pahlawan-pahlawan wanita yang lain yang lebih hebat dari Kartini, dan dengan argumen bahwa Kartini tidak memanggul senjata dalam memperjuangkan kemerdekaan, namun sosok Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi.Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Namun semangat Kartini harus tetap terpatri dalam hati kita dan mewujudkannya dengan menjadi sosok wanita yang lebih baik, lebih maju tanpa melupakan kodrat kita, lebih berilmu agar mejadi bekal kita dalam mendidik anak-anak kita dan lebih beragama agar menjadi bekal kita dalam menghadapi kehidupan selanjutnya……

Selamat Hari Kartini buat Kaum ku….Ibuku….dan diriku sendiri!

Makassar 21042010

Sisi Egois Seorang Guru......(Kisah 4)


Sebagai Guru Aku Cukup Egois

Aku tahu,
sebagai seorang guru aku selalu ingin kelihatan sempurna dimata kalian
padahal aku sadar, sebagai seorang manusia biasa,
aku punya banyak kekurangan bahkan mungkin melebihi kalian.
keegoisanku membuatku tidak ingin menampakkannya......

Aku tahu,
Kadang-kadang aku menghukum kalian bila telat menghadiri kelasku,
tanpa berusaha mengerti alasannya
Tapi aku tak pernah meminta kalian menghukumku bila aku yang terlambat
padahal aku sadar, seharusnya aku bersikap fair pada kalian
keegoisanku membuatku acuh saja dengan kekuranganku

Aku tahu,
Kadang-kadang aku mengeluarkan kata-kata yang kasar, raut wajah yang masam
bila sedang menjelaskan pelajaran pada kalian
padahal aku sadar, kalau kalian adalah sosok yg beragam dalam kepandaian,
keegoisanku membuatku tak sabar menghadapi kalian

Aku tahu,
Kadang-kadang aku memaki kalian karena malas bersekolah, dan menghakimi kalian
tanpa berusaha mengerti "KENAPA"...
padaha aku sadar, seharusnya aku mencari sebab dibalik keacuhan kalian pada sekolah
keegoisanku membuat aku lupa dengan kemanusiaan

Aku tahu,
Kadang-kadang tanganku dengan cepat mendarat di telinga, perut atau tangan kalian
ketika marah dengan tingkah kalian yang mengesalkanku....
padahal aku sadar, seharusnya aku menegur kalian dengan cara yang lebih lembut
dan penuh kesabaran
keegoisanku membuat aku kehilangan kelembutan dan kesabaranku

Aku tahu,
Kadang-kadang aku datang di hadapan kalian dengan wajah yang lesu, tanpa semangat
atau bahkan terlihat marah, sehingga aku banyak merepotkan kalian dengan ratusan
nomor tugas, latihan atau apapun itu....
padahal aku sadar, seharusnya aku mengesampingkan persoalanku ketika berada di antara kalian
keegoisanku membuatku tidak melaksanakan kewajibanku dengan baik.

Tapi.......
aku menghukum kalian ketika terlambat...
marah pada kalian ketika tak mengerti ajaranku...
memaki kalian ketika malas bersekolah.....
menjewer dan mencubit ketika kalian berlebihan dalam bertingkah
memberikan banyak tugas ketika sedang bad mood...
semua itu karena aku ingin kalian menjadi orang yang lebih baik, lebih pintar
dan jauh lebih berkualitas dibanding diriku....
dan yang terpenting adalah

aku tidak ingin kalian egois seperti diriku.....


Makassar 290210.....

My Body Guard.....(Kisah 3)


Pagi ini, kembali kita menelusuri jalan
merangkai kembali chemistry diantara kita yg sekian lama tersulam
ada segelintir gelisah,kaku dan takut
mungkinkah kita akan sanggup mewarnai kembali hari-hari selanjutnya
di antara....
semilir angin,
bisingan knalpot
derai hujan
dinginnya malam
dan teriknya matahari yg membakar
Jujur saja aku khawatir....
khawatir akan menyakitimu lagi
memberi noda suram pada tubuhmu yg bersinar....
apalagi setelah malam yang menakutkan itu
Ah,nalarku mencengkram,rasaku meringis,bibirku tersenyum luka

Tapi kita tak boleh mendekam larut dalam rasa itu
hempaskan,biarkan dia pergi dan hilang
jadikan dia sebagai rambu dalam perjalanan kita
agar waspada dan kehati-hatian menjadi sahabat pelipur rasa
dan pagi ini kita telah mendekap mereka
berjalan bersama,
sedikit demi sedikit membangkitkan kepercayaan diri
yang sempat tergores karena ulah orang yang tak bernurani
selangkah demi selangkah menemukan kembali
perpaduan kita dalam irama kecepatan roda

dan kurasa......kita telah bersama kembali
My Body Guard....

makassar 25062010

KITA BEGITU BERBEDA.....(Kisah 2)



Aku (Sanguinis) Vs Kau (Melankolis)

Bila diibaratkan bunga….
Aku adalah mawar, yang senang menjadi pusat perhatian
Aku adalah kemuning, yang mudah menyesuaikan diri dengan orang lain
Aku adalah Bougenville, yang selalu emosi, egois dan keras kepala
Sedangkan Kau…..
Kau adalah sedap malam yang terkesan pendiam dan senang menyendiri
Kau adalah anggrek, yang cuek, kaku, dan menjaga jarak.
Kau adalah melati, yang tenang, santai dan bersahaja.

Tapi bukankah seikat bunga dengan ragamnya yang corak, akan terlihat lebih indah dalam satu ikatan?

Bila dibaratkan warna….
Aku adalah merah, yang selalu mengungkap rasa
Aku adalah kuning, yang optimis, periang dan suka bergaul
Aku adalah ungu yang semangat dan tak pernah ragu-ragu dalam pencapaian harapan
Sedangkan Kau…..
Kau adalah biru, yang selalu menyembunyikan rasa
Kau adalah putih, yang anggun, idealis dan tak angkuh
Kau adalah hitam, yang selalu disukai dan jadi harapan banyak jiwa

Tapi bukankan warna yang paling indah adalah perpaduan dari beragam warna yang berbeda?

Bila diibaratkan buah…...
Aku adalah apel, yang royal, blak-blakan dan selalu menuruti kata hati
Aku adalah Nanas, yang cepat bertindak dan memutuskan sesuatu
Aku adalah persik, yang ramah, terus terang dan menghargai persahabatan
Sedangkan kau…..
Kau adalah kelapa, yang sangat pemikir dan penuh pertimbangan
Kau adalah Jeruk, yang sabar dalam kemauan dan pelan dalam bertindak
Kau adalah mangga, yang hangat, tertutup dan menghindari ikatan sesaat

Tapi bukankah cita rasa yang tinggi akan kita dapatkan dari gabungan rasa dalam keragaman buahnya?

Kita memang begitu berbeda….
Tapi perbedaan itulah yang membuat kita kuat, dan saling melengkapi
Aku tak ingin kau berubah, tetaplah seperti itu, karena berbeda denganmu,
Menjadikanku merasa begitu lengkap….

Kupersembahkan bagi jiwa-jiwa yang berbeda dan yang tak takut untuk menyatu!

Makassar, 060310

Bebaskan Hatiku...... (Kisah 1)


Sembuhkan hatiku yang tak sabar
yang membakar dalam diri seperti penyakit
ajari aku untuk tidak merasa kesal
pada kesalahan-kesalahan yang mendengung dalam telingaku
bantu aku untuk mencintai kekurangan, kesulitan dan kegagalan
tanpa kesedihan
penuhi aku dengan pengertian
seperti halnya pohon pir yang dimanja oleh angin
sentuhlah daun-daunku dan biarkan bunga-bunga kebaikanku
berjatuhan dan menebari orang-orang yang aku cintai dengan cinta

aku ingin hatiku bebas...
sebebas angin bertiup
sebebas rumput bergoyang
bebas mengikuti hati, hingga keindahan menaungiku
dan dunia mengesankanku, setiap kali aku memandang bintang-bintang

aku ingin hatiku bebas
dimana tak ada dinding yang membatasinya
bebas bagaikan arus yang berputar
tak perlu menyembunyikan
bebas maka hidup akan berarti
hanya berarti bila hatiku bebas

Sembuhkan hatiku, agar aku merasa bebas.......

Makassar 23032010