Selasa, 29 Juni 2010

Mengapa harus “Kartini”


Pada hari ini setiap tanggal 21 April diperingati sebagai hari kartini, seorang pahlawan wanita sebagai simbol dari perjuangan emansipasi wanita, sosok ini begitu lekat,dekat dan tanpa sekat menyatu dalam setiap pribadi wanita yang mempunyai jiwa berjuang dalam kehidupannya, tak jarang pula sosok ini dijadikan inspirasi dan teladan dalam makna yang tak seharusnya oleh kaum wanita yang ingin mensakralkan kebebasannya yang kebablasan. Oleh karena itu penting untuk mengetahui sepak terjang seorang kartini dan sejauh mana perjuangannya sehingga mengapa beliau sangat layak dijadikan sebagai seorang inspirator dalam semangat kepribadian seorang wanita pada khususnya dan seluruh pribadi manusia pada umumnya

Siapa kartini?

Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, bupati Jepara. Beliau putri R.M. Sosroningrat dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa. Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Teluwakur, Jepara. Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Mengapa harus Kartini?

• Kartini dan Kecintaannya pada Orang Tua
Kecintaan Kartini pada ayahnya memang luar biasa. Bahkan demi cintanya itu, Kartini rela menanggungkan apa saja,"Untuknyalah, aku merasa begini celaka, berbulan-bulan lamanya aku menjadi goyah hati, lemah, yang bahkan pengecut, karena aku tidak mampu, tidak sampai hati untuk melukai hatinya..."Ada aku rasai cintaku yang tiada terbatas kepadanya, dan aku menjadi bangga, menjadi berbahagia karenanya” itulah ungkapan kartini pada ayahnya. Tampaknya, di depan sang ayah, Kartini tak memiliki kekuatan untuk melawan, yang selalu dia katakan "demi cintaku pada ayah". Sehingga saat niatnya ke Belanda ditentang sang ayah, dan dia dikawinkan dengan Bupati Rembang, "menjadi istri yang kesekian" dia juga tak kuasa melawan. Kartini tak tahu, ada permainan Belanda dalam perkawinan itu. Setamat sekolah, Kartini ingin meneruskan ke Semarang, di HBS. Apalagi, abang-abangnya sudah bersekolah di sana. Tapi ayah Kartini tak memberi izin. Tahun 1896, saat Kartini berusia 17 tahun, pingitannya dilepas. Dia bersama adiknya, Kardinah, menikmati sekali kebebasan itu. Dan sejak 1900, saat naiknya Ratu Wihelmina, tradisi pingit tak ada lagi. Sesudah itu Kartini memang menjadi pemberontak. Bahkan, ketika dia akan membaktikan dirinya bagi perjuangan yang progresif, dan sang ayah menentang, Kartini tak mundur. Sampai ayahnya jatuh sakit, barulah Kartini surut, bukan mundur, tapi menunda niatnya. Kartini mengajarkan pada kita bahwa sebesar apapun keinginan kita sekalipun bermakna positif, sebagai seorang anak kita seharusnya tetap menghormati orang tua.

• Kartini dan Ilmu Pengetahuan
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda. Kartini membuktikan kepada kita bahwa meski berada dalam situasi yang termarjinalkan dan dalam status perkawinan, sisi intelektualitas harus tetap dipertahankan.

• Kartini dan Alquran
“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?“. Pertanyaan ini diajukan Kartini kepada Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar, atau lebih dikenal dengan Kyai Sholeh Darat, ketika berkunjung ke rumah pamannya Pangeran Ario Hadiningrat, Bupati Demak. Waktu itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga dan Kartini ikut mendengarkan bersama para raden ayu lainnya dari balik tabir. Karena tertarik pada materi pengajian tentang tafsir Al-Fatihah, setelah selesai Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kyai tersebut. Tertegun mendengar pertanyaan Kartini, Kyai balik bertanya, “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?“ “Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama (Al-Fatihah), dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?“
Ibu Kartini muda yang di kala itu belajar Islam dari seorang guru mengaji, memang telah lama merasa tidak puas dengan cara mengajar guru itu karena bersifat dogmatis dan indoktrinatif. Walaupun kakeknya Kyai Haji Madirono dan neneknya Nyai Haji Aminah dari garis ibunya, M. A. Ngasirah adalah pasangan guru agama, Kartini merasa belum bisa mencintai agamanya. Betapa tidak? Beliau hanya diajar bagaimana membaca dan menghapal Al-Qurâ’an dan cara melakukan shalat, tapi tidak diajarkan terjemahan, apalagi tafsirnya. Pada waktu itu penjajah Belanda memang memperbolehkan orang mempelajari Al-Qurâ’an asal jangan diterjemahkan. Tergugah dengan kritik itu, Kyai Sholeh Darat kemudian menterjemahkan Al-Qurâ’an dalam bahasa Jawa dan menuliskannya dalam sebuah buku berjudul Faidhir Rahman Fit Tafsiril Quran jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah hingga surat Ibrahim. Buku itu dihadiahkan kepada Ibu Kartini saat beliau menikah dengan R. M Joyodiningrat, Bupati Rembang pada tanggal 12 November 1903. Berkat insiatif dan kegigihan seorang Kartini, akhirnya dibuatlah tafsir Alquran yang memudahkan masyarakat dalam mendalami ilmu Islam.,

• Kartini dan Emansipasi
Kartini mendapat pencerahan tentang perlunya mendobrak adat-adat lokal, baik perilaku yang mengistimewakan keturunan ningrat daripada keturunan rakyat biasa maupun yang mengekang hak-hak wanita pada umumnya. Menurut beliau, setiap manusia adalah sederajat dan mereka berhak mendapat perlakuan yang sama. Sedangkan khusus untuk wanita, mereka memiliki hak misalnya untuk memperoleh pendidikan sekolah, hak untuk melakukan aktivitas keluar rumah, hak untuk memilih calon suami. Namun di lain pihak Ibu Kartini juga berusaha untuk menghindar dari pengaruh budaya Barat walaupun juga mengakui bahwa perlu belajar dari Barat karena lebih maju dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Beliau juga mendapat pencerahan tentang agama yang dianutnya, yaitu Islam. Bahwa Islam, jika ajaran-ajarannya diikuti dengan benar sesuai dengan Alquran, ternyata membawa kehidupan yang lebih baik dan memiliki citra baik di mata umat agama lain. Ibu Kartini menulis dalam surat-suratnya, bahwa beliau mengajak segenap perempuan bumiputra untuk kembali ke jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad berjuang untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat lain memandang agama Islam sebagai agama yang patut dihormati. “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].
Klimaksnya, nur hidayah itu membuatnya bisa merumuskan arti pentingnya pendidikan untuk wanita, bukan untuk menyaingi kaum laki-laki seperti yang diyakini oleh kebanyakan pejuang feminisme dan emansipasi, namun untuk lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai ibu. Ibu Kartini menulis: “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902]. Tidak hanya itu, nur hidayah itu juga bisa menyebabkan perubahan sikap beliau terhadap Barat yang tadinya dianggap sebagai masyarakat yang paling baik dan dapat dijadikan contoh. Ibu Kartini menulis, “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” [Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902].

Meskipun pro dan kontra mewarnai dalam penetapan sosok Kartini sebagai pahlawan dan menganggap bahwa masih banyak pahlawan-pahlawan wanita yang lain yang lebih hebat dari Kartini, dan dengan argumen bahwa Kartini tidak memanggul senjata dalam memperjuangkan kemerdekaan, namun sosok Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya dari belenggu diskriminasi.Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Namun semangat Kartini harus tetap terpatri dalam hati kita dan mewujudkannya dengan menjadi sosok wanita yang lebih baik, lebih maju tanpa melupakan kodrat kita, lebih berilmu agar mejadi bekal kita dalam mendidik anak-anak kita dan lebih beragama agar menjadi bekal kita dalam menghadapi kehidupan selanjutnya……

Selamat Hari Kartini buat Kaum ku….Ibuku….dan diriku sendiri!

Makassar 21042010

0 komentar:

Posting Komentar