Sabtu, 26 Maret 2011

Kelapangan Hati


Suatu pagi seorang murid datang kepada guru spiritualnya. “Guru, ijinkan saya bunuh diri. Saya sudah tidak kuat lagi menahan derita hidup. Saya berpikir tidak ada gunanya lagi bertahan hidup jika orang-orang yang paling dekat sekalipun selalu mencemooh dan menyalahkan setiap langkah saya. Sepertinya tidak ada lagi kebenaran yang tersisa dalam diri saya.”

Mendengar curhat murid yang tidak biasanya ini, sang guru agak terperanjat juga. Ia tidak menduga jika muridnya sudah sampai pada pikiran dan sikap putus asa. Setelah terdiam sejenak, sang guru minta ijin masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, sang guru kembali ke ruang tamu dengan membawa segelas air putih dan semangkok garam plus sendoknya. “Wahai muridku, tolong kau ambil sesendok garam ini lalu kau masukkan kedalam gelas, dan aduklah agar segera larut. Setelah itu minumlah,” kata sang guru mengagetkan muridnya. Sang murid pun segera mengikuti perintah tersebut. “Seperti apa rasanya nak ?,” tanya guru lebih lanjut. “Waduh, pahit sekali guru,” jawab sang murid sambil menyemprotkan air ke arah gelas yang dipegangnya.

Mendengar jawaban itu, sang guru tersenyum dalam hati. “Sekarang, ikutilah saya,” pinta sang guru kepada muridnya sambil berjalan menuju telaga tak jauh dari rumahnya. Muridnya kembali diminta mengambil sesendok garam yang ia bawa untuk dimasukkan ke dalam telaga, sembari diminta untuk mengaduknya dengan bambu yang tergeletak di tepiannya. Beberapa saat setelah air kembali tenang, sang murid iminta mengambil air dengan gelas yang sama untuk diminum.

“Seperti apa rasanya nak ?,” guru bertanya untuk kedua kalinya. “Alhamdulillah segar sekali,” ujar sang murid sumringah. “Nak, apa yang membuatnya berbeda ? Padahal airnya sama-sama kamu beri sesendok garam,” tanya guru kemudian. “Yang membuat rasanya berbeda adalah wadahnya, guru. Kalau yang di rumah wadahnya gelas, sedang yang di sini wadahnya telaga,” ujar sang murid mantap. “Tahukah kamu akan arti semua ini ?” tanya guru berikutnya yang dijawab muridnya dengan gelengan kepala.

“Ketahuilah muridku. Garam ibarat persoalan hidup, sedang gelas dan telaga adalah gambaran hati kita. Jika hati kita hanya seluas gelas, maka persoalan hidup yang kecil sekali pun akan terasa begitu pahit. Sebaliknya, jika hati kita bisa seluas telaga, maka berbagai persoalan hidup yang besar dan pelik pun akan terasa ringan. Hati dan perasaan kita senantiasa segar. Hidup pun akan terasa indah”, papar guru berfalsafah.

“Lalu bagaimana caranya melapangkan hati kita”, sela sang murid. “Berusahalah untuk selalu menjadi pemaaf, baik bagi kesalahan diri sendiri maupun kesalahan orang lain. Ingat Allah pun Maha Pemberi Ampun.” Sang murid tercenung dengan mata berkaca-kaca. Sambil beristighfar, ia berikrar di hadapan guru untuk tidak lagiberpikir bunuh diri.


oleh H.D. Iriyanto, dikutip dari harian Republika.

0 komentar:

Posting Komentar