Selasa, 17 Mei 2011

STORY ABOUT "WINA"


Setelah menyelesaikan S1 ku di Jogjakarta, ayah memintaku membantunya mengajar di sekolah yang dipimpinnya. Sebuah sekolah swasta yang didirikan oleh yayasan, sekolah ini sangat sederhana, jauh dari kata “mewah”, para siswanya pun kebanyakan berlatar belakang miskin dan menetap di lingkungan yang kurang baik, sehingga tingkah laku mereka di sekolah cukup membuat guru geleng-geleng kepala dan mengelus dada, dan di sekolah itulah untuk pertama kalinya aku bertemu Wina, seorang siswa yang cukup memberiku pengalaman mendidik yang luar biasa.


Wina seorang murid yang sangat sederhana, gayanya begitu tomboy, tidak begitu menarik dibanding siswa perempuan di kelasnya, rambutnya selalu dikuncir belakang dan pendiam. Ketika mengajar di kelas 2 dia tak begitu menarik perhatianku, selain harus menegurnya karena malas mencatat pelajaran, selebihnya dia kuperlakukan seperti muridku yang lain. Setelah naik kelas 3, barulah aku mendapat informasi yang cukup mengejutkan tentangnya. Suatu ketika aku sedang mengajar bahasa Inggris dan kebetulan materi saat itu adalah writing about narrative text (menulis teks naratif), karena materi itu banyak berisi cerita, maka aku berinsiatif menugaskan mereka membuat teks naratif dengan bercerita tentang kehidupan mereka, bisa juga dalam bentuk curhat bila mereka ada masalah dan aku berjanji saat itu akan membantu mencari solusi atas masalah yg mereka hadapi. Dari sekian murid semuanya antusias kecuali Wina, dia cuek dan bahkan tak mengerjakannya, aku menegurnya tapi kemudian membiarkannya saja, kupikir nantilah aku bicara dengannya baik2. Ternyata setelah hari itu Wina mulai memperhatikanku, dia diam-diam mengamatiku dan mencari no telponku. Tapi tetap dengan gayanya yang super cuek.


Suatu hari sahabatnya menemuiku dan bercerita bahwa sebenarnya Wina punya masalah yang sangat besar, dia ternyata sering memakai obat2an, pil dan sejenisnya, dia bahkan sering mengiris pergelangan tangannya meski tak sampai parah, saat kutanya pada temannya kenapa begitu, katanya karena masalah keluarga. Aku mulai mendekatinya meski dengan cara pelan-pelan, karena jujur aku tak tau harus bagaimana menghadapi sikapnya yang super cuek. Aku mulai sering menegurnya, menanyakan kabarnya, mendekatinya dibangkunya, tapi tak ada hasil dia tetap cuek. Tapi beberapa hari setelah itu aku menerima telpon dan ternyata dia dan sahabatnya yang menelpon, tapi dia tak mau bicara, beberapa kali begitu sampai akhirnya dia bicara meski hanya bilang “bu….lagi ngapain?...atau bu….selamat istirahat. Ah lumayan pikirku, aku mulai berani bertanya tentang tangannya yang terlihat kasar karena bekas irisan, dia hanya tersenyum dan bilang “nggak apa2 koq bu…” tapi aku tak putus asa, kubelikan dia sebuah buku harian dan memberikannya sambil berkata” kalau Wina malu cerita langsung sama ibu, Wina boleh menceritakannya lewat tulisan. Awalnya dia menolak tapi setelah kubujuk akhirnya dia mau. Sehari, dua hari dan seminggu telah lewat dan Wina tak memberikanku buku itu, ah aku mulai bosan dan memutuskan tuk melupakannya. Tapi ketika dua minggu setelahnya, sahabatnya mencegatku di gerbang sekolah dan memberikanku buku itu. Aku lalu membacanya dan inilah beberapa baris tulisannya:


“buat guru yang kusayangi, maaf bila masalahku mengganggu pekerjaan ibu, bu…saya mau tanya apakah saya pantas hidup?untuk apa? Orang tuaku tak pernah memperdulikanku, terus terang mereka telah bercerai dan keduanya meninggalkan saya. Itulah yang menyebabkan saya memakai obat-obatan dan mengiris tangan saya, saya juga sudah berusaha berhenti tapi tak bisa, mungkin inilah jalan hidup saya. Jangan suruh saya kembali sama Allah bu, karena Allah itu pembohong, pendusta telah memberikan saya orang tua yang tidak bertanggung jawab, bila suatu saat orang tua saya kembali, saya tidak akan menganggap mereka lagi, saya anggap mereka telah meninggal, terima kasih bu, saya mencintai ibu, ibu lah orang tua saya!”


Astaghfirullah……astaghfirullah…..saya terhenyak tak menyangka Wina sampai berpikir seburuk itu. Jujur saat itu saya bingung harus menulis apa sebagai balasan tulisannya, tapi Wina pasti menunggu dengan sangat, akhirnya setelah berpikir tenang saya membalas tulisan itu dengan semampu saya. Setelah hari itu kami sering bertukar tulisan dan Wina pun tak segan lagi menelpon. Dia mulai ceria ke sekolah dan tak sering lagi memakai obat dan mengiris tangannya meski tak juga berhenti. Dia bahkan meminta temannya mengambil gambarku dan memajang dikamarnya dalam sebuah bingkai. Ujian nasional hampir tiba, saat itu aku sangat sibuk dan tidak begitu memperhatikan Wina, suatu hari sia mengajakku jalan, tapi aku menolaknya. Dia marah bahkan merobek fotoku kata temannya, aku sempat kesal, tapi aku menahan diri takut Wina kembali lagi seperti dulu, aku tak ingin menyakiti hati yang telah sakit, meski repot juga harus memperhatikannya terus, aku lalu membujuknya dan dia pun mengerti.


Hingga dia selesai mengikuti UN, hubungan kami cukup baik. Bahkan suatu hari dia datang kepadaku dengan sebuah bungkusan dan buku harian yang ternyata isinya beberapa buah pil yang entah apa namanya dan sebungkus silet, dalam buku hariannya dia menulis “bu saya berjanji mulai hari ini, saya tidak akan lagi memakai obat2an dan mengiris tangan, tolong ibu buang semua barang itu. Terima kasih atas segala kebaikan ibu!”. Tak terasa air mataku menetes, sungguh aku begitu terharu, Alhamdulillah, segera aku membuang pil itu di WC sekolah dan silet ditempat sampah dan berdoa semoga Wina betul2 berubah. Hari itu untuk pertama kalinya setelah 2 tahun mengajar, saya merasa begitu bangga menjadi seorang guru, terima kasih ya Allah. Setelah tamat Wina masih sering menemuiku, baik di sekolah juga kadang dirumah. Kudengar Ayahnya telah kembali dan mereka berbaikan, entah dengan ibunya. Kata teman-temannya Wina bekerja di Pasar menjajakan dagangan kadang juga diupah menjaga toko, ah aku sedih juga berharap kehidupan Wina bisa lebih baik, tapi luar biasa dia tetap survive dalam hidupnya. Yang buat aku sangat tak enak, Wina selalu membelikanku banyak makanan dan sering mengirimiku pulsa, beberapa kali aku tolak dan bahkan mengancam tak mau lagi menemuinya tapi dia tak menggubrisku, bahkan saat aku ganti nomor pun dia masih juga tau. 3 tahun telah berlalu kami masih bertemu meski tak sesering dulu. Aku hanya berharap Wina baik-baik saja dan senantiasa di jalan yang benar.


“Wina,kamu telah memberikan pengalaman yang luar biasa pada ibu, itu karena kamu juga orang yang berjiwa besar, semoga Allah senantiasa melindungimu dan menuntunmu ke jalanNya. Karena itu Ibu hanya ingin mengucap kata, terima kasih kau telah membuat ibu banyak belajar tentang arti hidup, cinta ibu selalu bersamamu!”

0 komentar:

Posting Komentar